BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perlu
kita ketahui bahwa pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat
memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan
Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya
pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang,
perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Dan untuk mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinkan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh. Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu Pancasila.
Dan untuk mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinkan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh. Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu Pancasila.
Pada
pembangunan lima tahun yang merupakan sebagai Rule of Law pada tahun 1969
merujuk kepada paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa Indonesia adalah
negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan
belaka, dimana Hukum di fungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat
proses pembangunan melakukan pendekatan baru yang dapat dipakai untuk
merelevansi permasalahan hukum dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang
tidak hanya terbatas pada persoalan normative dan ligitigatif (dengan kombinasi
melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional). Yang secara Eksplisit dan
resmi dalam naskah Rancangan Pembangunan Lima Tahun Kedua Tahun 1974, Bab 27
Paragraf IV butir I Menguraikan : “Hukum dan Rancangan Perundang-undangan”,
dengan prioritas untuk meninjau kembali dan merancang peraturan-peraturan
perundang-undangan sesuai dengan pembangunan sosial-ekonomi
(perundangan-undangan disektor social-ekonomi.
Kontinuitas
Perkembangan Hukum Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Kolonial yang dinasionalisasi,
adalah pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia, adalah
dengan hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan bisnis Internasional
(berasal dari hukum dan praktek bisnis Amirika), Para ahli hukum praktek yang
mempelajari hukum eropa (belanda), dalam hal ini, mochtar berpengalaman luas
dalam unsur-unsur hukum dan bisnis Internasional, telah melakukan pengembangan
hukum nasional Indonesia dengan dasar hukum kolonial yang dikaji ulang
berdasarkan Grundnom Pancasila adalah yang dipandang paling logis.
1.2 Batasan Masalah
Bagaimana
peranan politik hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Politik Hukum
Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan
disampaikan oleh beberapa ahli :
Satjipto Rahardjo
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan
suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk
mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara
Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu (
menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan
dengan pembentukan hukum
dan penerapannya.
L. J. Van Apeldorn
Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan
isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya
pada hukum tertulis saja.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih
nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.
Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah
sebagai berikut :
a) Bahwa definisi atau
pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan
substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan
kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b) Pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding
Tot de Fechts Weten Schap in Nederland
Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu
hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupakan salah satu cabang atau bagian
dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas :
Dogmatika Hukum
Sejarah Hukum
Perbandingan Hukum
Politik Hukum
IlmU Hukum Umum
2.2. Peranan politik hukum dalam perkembangan
hukum di Indonesia
Sudah
banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan oleh para
ahli di dalam berbagai literature. Dari berbagai pengertian atau definisi itu,
dengan mengambil substansinya yang ternyata sama, bahwa politik hukum adalah
“legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan
baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam
rangka mencapai tujuan Negara.” Dengan demikian, politik hukum merupakan
pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang
hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan Negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945.
Secara
lebih spesifik perkembangan karakter produk hukum tentang Pemilu, Pemda, dan
Agraria menurut penggalan waktu (periodisasi) konfigurasi politik tersebut
adalah sebagai berikut.
1) Hukum
Pemilu
Setelah
proklamasi kemerdekaan (selama periode 1945-1959) berbagai eksperimen, perundang-undangan
tentang Pemilu dikeluarkan, tetapi pada era ini terjadi Pemilu yang benar-benar fair ,
yaitu Pemilu untuk anggota DPR dan konstituante pada tahun 1955 dilaksanakan
berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953 ini memuat materi sangat rinci (139
pasal)sehingga tidak memberikan space yang terlalu besar kepada
eksekutif untuk menafsirkannya dengan peraturan pelaksana menurut visi
politiknya sendiri. Organisasi penyelenggara Pemilu adalah independen dan tidak
di intervensi oleh kekuatan politik pemerintah. Pengangkatan anggota DPR maupun
konstituante yang tidak berdasar hasil Pemilu hanya dimungkinkan bila terjadi
situasi memaksa tertentu, yaitu adanya daerah yang berhalangan menyelenggarakan
pemungutan suara (sehingga dimungkinkan pengangkatan untuk sementara), atau
karena kuri-kursi DPR dan konstituante tidak terbagi habis setelah dibagi-bagi
menurut perimbangan perolehan suara, atau karena tidak terpenuhinya jumlah
minimal tertentu untuk golongan minoritas China, Arab, dan Eropa. Dengan
demikian, produk hukum Pemilu pada era ini dikualifikasi sebagai produk hukum
yang lebih berwatak responsive/populistik.
Pada
era demokrasi terpimpin (1959-1966) tidak pernah ada Pemilu maupun UU Pemilu,
sesuai dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter. Tetapi lembaga
perwakilan rakyat yang ada mengalami emaskulasi untuk akhirnya
dibubarkan oleh presiden. Logika pembangunan ekonomi pada era Orde Baru
(1966-1998) telah menyebabkan pemerintah mengambil sikap tertentu tentang
Pemilu, yakni Pemilu harus diadakan sesuai dengan tuntutan konstitusi, tetapi
kekuatan pemerintah harus menang. Oleh sebab itu, UU Pemilu, yaitu UU No. 15
Tahun 1969, yang kemudian hampir selalu diperbaharui setiap menjelang Pemilu,
lebih cenderung berwatak konservatif/ortodoks/elitis. Artinya lebih banyak
memberi keuntungan kepada kekuatan politik pemerintah. Di dalam UU tersebut dianut
system pengangkatan secara tetap (untuk jumlah tertentu) yang ditentukan oleh
dan untuk visi politik pemerintah. Organisasi penyelenggara Pemilu dinilai
tidak netral dan peraturan-peraturan pelaksanaannya yang merupakan interpretasi
resmi atas UU Pemilu (electoral laws) dinilai tidak fair. UU No. 15
Tahun 1969 yang hanya memuat 37 pasal memang member space sangat luas
kepada pemerintah untuk memberikan interpretasi, yang dalam banyak hal dinilai
tidak sekadar “interpretasi teknis.”
2) Hukum
Pemda
Proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945 membawa semangat demokrasi yang cenderung
liberal sehingga masalah desentralisasi menjadi salah satu perhatian utama.
Pada periode 1945-1959, masalah desentralisasi berjalan secara eksperimental
dalam wujud lahirnya UU Pemerintahan Daerah (Pemda) sampai tiga kali, yaitu UU
No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan UU No. 1 Tahun 1957. Secara umum
hukum Pemda pada era 1945-1959 ini dapat dikualifikasi sebagai hukum yang
berkarakter sangat renponsif/populistik karena luasnya otonomi yang diberikan
kepada daerah. DPRD merupakan penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan
desentralisasi, sedangkan tugas pembantuan lebih banyak ditangani oleh Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Pemilihan kepala daerah otonom juga sangatfair, yakni
dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat yang untuk tahap awal (sebelum
ada UU tentan Pemilihan Kepala Daerah) dipilih oleh DPRD. Begitu juag control
pusat terhadap produk Peraturan Daerah (Perda) hanya dibatasi pada hal-hal
tertentu yakni pada masalah-malasah yang menyangkut kepentingan umum.
Pemerintah
pada era demokrasi terpimpin memandang system otonomi atau desentralisasi yang
berlaku sejak zaman demokrasi liberal membahayakan keutuhan nasional karena
tendensi pada timbulnya gerakan-gerakan daerah yang disintegratif. Presiden
Soekarno segera mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang merombak secara
total dasar-dasar yang dipakai oleh UU No. 1 Tahun 1957. Penpres No. 6 Tahun
1959 menggeser dominasi asas desentralisasi kea rah sentralisasi atau
pengendalian daerah secara ketat oleh pusat. Meskipun penpres tersebut secara
“formal” masih menyebut asas otonomi nyata yang “seluas-luasnya”, namun asas
tersebut tidak dielaborasi sama sekali, malahan penpres itu memuat
ketentuan-ketentuan yang sangat tidak sesuai dengan prinsip desentralisasi.
Kepala daerah diangkat dan ditentukan sepenuhnya oleh pusat dengan kedudukan
sekaligus sebagai pengawas (atas nama pusat) atas jalannya pemerintahan di
daerah yang diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD.
Penpres ini kemudian digantikan oleh UU No. 18 Tahun 1965 yang lebih merupakan
penggantian “baju hukum” karena isinya tidak mengandung perubahan
yang berarti, bahkan dapat dikatakan bahwa UU No. 18 Tahun 1965 mengambil
hamper seluruh isi Penpres No. 6 Tahun 1969 sebagai materinya. Dengan demikian,
produk hukum tentang Pemda pada periode ini memiliki karakter yang sangat
konservatif/ortodoks/elitis.
Era
Orde Baru (1966-1998) yang berusaha menggalang “persatuan dan kesatuan”
melakukan perubahan terhadap UU No. 18 Tahun 1965. Meskipun pada awal Orde
Baru, MPRS menetapkan asas otonomi nyata yang seluas-luasnya, tetapi ketetapan
MPRS ini harus diganti sebelum berlaku. Orde Baru memandang penetapan otonomi
yang seluas-luasnya bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan sehingga
harus diganti dengan asas otonomi nyata dan bertanggung jawab yang lebih
merupakan kewajiban bagi daerah. Asas otonomi nyata dan bertanggung jawab ini
dituangkan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 yang kemudian dijabarkan dengan
UU No. 5 Tahun 1974. Meskipun tidak seekstrem UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 6
Tahun 1974 ini dapat dikualifikasi sebagai produk hukum yang cenderung
berkarakter konservatif karena memberikan porsi kekuasaan kepada pusat secara
lebih dominan. Kepala daerah diangkat oleh pusat dari calon-calon yang diajukan
daerah berdasarkan hasil pemilihan DPRD tanpa terikat pada peringkat hasil
pemilihan DPRD itu. Calon-calon yang akan dipilih untuk diusulkan oleh DPRD itu
harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pusat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari kedudukan kepala daerah sebagai organ daerah otonom sekaligus alat pusat
di daerah. Kepala daerah diletakkan pada posisi penguasa tunggal dalam bidang
pemerintahan di wilayahnya masing-masing yang menempel di atas daerah otonom.
Control pusat atas daerah masih melalui pengawasan preventif, pengawasan represif,
dan pengawasanumum. Dengan demikian, desentralisasi menurut UU No. 5 Tahun 1974
sebenarnya lebih diwarnai oleh sentralisasi sehingga produk hukum ini bukan
produk yang berwatak renponsif.
3) Hukum
Agraria
Setelah
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, hukum-hukum agraria yang
ditinggalkan kolonialisme Belanda mendapat gugatan secara gencar agar diganti
dengan hukum agraria yang lebih renponsif. Pemerintah sendiri menempuh dua
jalur untuk memenuhi gugatan-gugatan itu, yaitu mengeluarkan peraturan
perundang-undangan secara parsial dalam bidang keagrariaan dan membentuk
berbagai Panitia Perancang Hukum Agraria Nasional. Peraturan perundang-undangan
yang sifatnya parsial itu dibuat untuk sementara sambil menunggu lahirnya hukum
agraria nasional yang materi-materinya berisi pencabutan terhadap bidang-bidang
tertentu dalam hukum agraria yang dirasa sangat tidak adil. Seperti pencabutan
hak konversi bagi pengusaha Eropa dengan UU No. 13 Tahun 1948, penghapusan
tanah partikelir dengan UU No. 1 Tahun 1958, perubahan Peraturan Persewaan
Tanah dengan UU Darurat No. 6 Tahun 1951 (yang kemudian diperbaharui dengan UU
No. 6 Tahun 1952) dan sebagainya. Semua produk hukum dalam bidang agraria yang
masih bersifat parsial mempunyai karakter yang lebih renponsif/populistik.
Sejak
awal kemerdekaan pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah untuk membuat
hukum agraria nasional yang komprehensif melalui pembentukkan berbagai Panitia
Agraria. Mula-mula dibentuk Panitia Agraria Yogya (1948), kemudian disusul
dengan Panitia Agraria Jakarta (1951), dan Panitia Soewahjo (1956). Rangkuman
hasil-hasil kerja berbagai panitia itu diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo
kepada DPR sebagai RUU. Namun, RUU yang diajukan pada era demokrasi liberal ini
kemudian ditarik oleh pemerintah karena terjadi perubahan konstitusi berkenaan
dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. RUU tersebut setelah diperbaharui
atau disesuaikan dengan terma-terma yang ada dalam UUD 1945 dan konsepsi
demokrasi terpimpin diajukan lagi kepada DPR sebagai RUU pada tahun 1960 oleh
Menteri Agraria Sadjarwo untuk kemudian disahkan menjadi UU No. 5 Tahun 1960
yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). UUPA
menghapus semua watak yang melekat pada AW 1870 dan semua produk hukum yang
menyertainya, yaitu watak dualistic, feodalistik, dan ekploitatif. UUPA juga
memuat asas “fungsi social” bagi hak atas tanah serta prinsip pembatasan luas
maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki secara adil.Domeinverklaring dinyatakan
dicabut dan diganti dengan asas “hak menguasai dari Negara” yang berorientasi
pada upaya mengusahakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya sesuai dengan
amanat Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, UUPA berkarakter sangan
renponsif/populistik.
Kasus
UUPA menjadi satu-satunya produk hukum yang berkarakter responsive dalam
penelitian ini pada era demokrasi terpimpin yang otoriter. Hal ini bisa
dijelaskan dari empat hal, yaitu : Pertama, UUPA berasal dari warisan
(rancangan-rancangan) zaman demokrasi liberal yang pengundangannya tertunda
karena ada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, UUPA memuat materi yang
membalik dasr-dasar kolonialisme yang sudah pasti sangat ditentang oleh semua
pemimpin Indonesia, baik pemimpin yang demokratis maupun yang otoriter. Ketiga, materi
UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan
mengganggu sebuah rezim otoriter sekalipun. Keempat, UUPA tidak hanya
memuat aspek public (hukum administrasi Negara), tetapi juga memuat
masalah-masalah privat (hukum perdata).
Pada
era Orde Baru tidak diperlukan lagi sebuah produk hukum agraria nasional karena
Indonesia sudah meiliki UUPA. Oleh sebab itu, hanya dikeluarkan beberapa
peraturan perundang-undangan dalam bidang keagrariaan yang sifatnya parsial.
Ada tuntutan bagi Orde Baru untuk melakukan pembaharuan terhadap beberapa
masalah (parsial) dalam bidang agraria ini, seperti yang menyangkut UU
Landreform (UU No. 56/PRP//1960).
Dapat
juga dicatat bahwa proses pembangunan pada era Orde Baru telah menyebabkan
meningkatnya tuntutan atas penggunaan lembaga onteigning(pencabutan hak
atas tanah), seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961. Tetapi sikap
pragmatis Orde Baru telah melahirkan peraturan perundang-undangan parsial dalam
bidang agrarian ini yang dapat dikualifikasi cenderung berkarakter
konservatif/ortodoks. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975
tentang Prosedur Pembebasan Tanah untuk Keperluan Pembangunan, di samping
materinya secara hierarkis tidak proporsional karena memuat materi UU atau
mengatur cara lain dari apa yang diatur UU No. 20 Tahun 1961, tidak memberikan
alternative jika “musyawarah” untuk pembebasan tanah itu gagal, sehingga di
dalam praktik banyak menimbulkan masalah yang cenderung selalu memenangkan
pihak yang ingin membebaskan tanah.
Dalam
pada itu, Inpres No. 9 Tahun 1973 dapat juga dipandang sebagai produk peraturan
perundang-undangan yang lebih memenuhi keperluan praktis pemerintah untuk
melakukan pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan. Seharusnya materi kedua
peraturan perundang-undangan ini dapat dibuat lebih rinci dan diberi bentuk
hukum setingkat UU. Sedikit kemajuan terjadi pada tahun 1993, pemerintah
mengeluarkan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kemajuan tersebut, misalnya terlihat pada
prosedur musyawarah yang lebih terbuka untuk menentukan ganti rugi. Terlihat
juga adanya jalan keluar jika penetapan ganti rugi ditolak pemilik hak atas
tanah, yakni dengan mengajukan keberatan dan minta penyelesaian gubernur. Jika
penetapan gubernur itu masih ditolak dapat ditempuh penyelesaian dengan
menggunakan UU No. 20 Tahun 1961, yaitu prosedur pencabutan hak (onteigning).
Namun Karena substansinya sangat penting, materi Keppres No. 55 Tahun 1993
seharusnya diberi baju hukum dalam bentuk UU yang sekaligus diintegrasikan
dengan UU No. 20 Tahun 1961.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hasil
telaah atas kasus-kasus dalam studi ini menunjukkan bahwa perkembangan karakter
produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan
konfigurasi politik. Artinya konfigurasi politik tertentu ternyata selalu
melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik
tampil secara demokratis, maka karakter produk hukum yang dilahirkannya cenderung
responsive/populistik. Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi
yang otoriter, maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter
konservatif/ortodoks/elitis.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar